Perbandingan Sosio Ekonomi antara Orang Melayu, Tionghoa, dan Dayak Kanayatn

A. Karakteristik dan Historis Etnis Melayu, Tionghoa, dan Dayak Kanayatn

1. Etnis Melayu

Orang Melayu pada umumnya merupakan sekelompok masyarakat yang tinggal di pesisir dan mendominasi suatu pemukiman, namun tidak jarang pula akan kita jumpai orang-orang Tionghoa, serta suku-suku pendatang yang tinggal berdampingan, seperti : Jawa, Minang, Bugis, Batak, Madura, dan lain-lain. Sejak dahulu, orang melayu lebih senang mendiami tempat-tempat pesisir. Di pinggiran Sungai Kapuas misalnya, menurut hasil survey yang ada, lebih dari 70 persen penduduk yang bermukim di sana adalah orang Melayu.

Ras Melayu memang bisa dikatakan memiliki watak yang khas dan cenderung seragam antar sesama mereka, meskipun tidak semuanya demikian. Hal ini berangkat dari kebiasaan budaya turun temurun, sebagaimana yang diwariskan oleh para pendahulu mereka, baik dari cara berpikir yang cenderung tradisional, primitif (minim bahkan tidak memiliki orientasi ke depan), serta tingkah laku dan pola sikap, Terlepas dari positif / negatifnya hal tersebut. Sebagai contoh, berdasarkan ringkasan yang saya kutip dari www.budayaindonesia.multiply.com, menurut Selo Sumarjan menyimpulkan bahwa secara sosiologis bahwa kebudayaan suku-suku di indonesia, termasuk Melayu sebagai ras, lebih berorientasi kepada kehidupan bermasyarakat (socially oriented) ketimbang berorientasi pada material (material oriented). Selain itu beberapa pakar sosiologi dan antropologi menyebutkan bahwa kekuatan budaya melayu adalah bahwa melayu sebagai suku sangat menghargai keteladanan, dalam hal ini bawahan akan berusaha menjadi lebih baik jika atasannya memberi teladan yang baik. Disamping karakteristik diatas, ada juga karakteristik negatif yang melekat pada budaya melayu dan budaya-budaya di Indonesia pada umumnya yaitu : berorientasi pada masa lalu, aji mumpung dan boros.

Dari sisi agama, saya masih belum menemukan orang Melayu yang beragama non-muslim. Sampai sejauh ini, secara total dapat saya simpulkan bahwa memang orang Melayu identik dengan agama Islam. Dengan kata lain, begitu kentalnya Melayu dengan Islam adalah suatu kemutlakan. Bisa kita lihat bagaimana latar belakang Kerajaan Islam di Kalimantan Barat, diantaranya ada beberapa kerajaan yang berciri khas Melayu. Berikut akan dijelaskan mengenai masuknya Islam ke Kalimantan dan menjadi sebuah agama yang mayoritas dipeluk oleh orang Melayu. Dan akan diterangkan kronologis bagaimana Islam dan Melayu masuk ke Kalimantan.

Menurut Munawar. M. Saad ,Islam masuk ke Kalimantan diperkirakan akhir abad XIV M, hal itu paling tidak ditandai dengan masuk Islam beberapa penguasa, seperti Raja Kutai Kertanegara. Disusul Raja Brunei pada tahun 1410, serta Raja Landak, Raden Ishamana (1472-1542 M) juga memeluk agama Islam, kemudian menyusul Raja Tanjungpura, Giri Kusuma masuk Islam pada Tahun 1550.



Berbarengan dengan masuknya Islam, mssuklah Melayu ke Kalimantan dari sumatera dan Jazirah Malaka. Kerajaan Islam sambas didirikan pada tahun 1687 oleh Raden Sulaiman, yang kemdian bergelar Sultan Muhammad Syafiuddin I. Melalui proses Islamisasi inilah Melayu masuk ke Kalbar.

Suku Melayu di Kalimantan pada hakikatnya terbagi dua, yaitu orang melayu asli yang berasal dari Sumatera atau Semenanjung Malaka dan yang berasal dari orang Dayak (Melayu-Dayak). Kini mereka tidak dapat dibedakan lagi mana yang asli dan yang bukan.

Pengaruh budaya Melayu dan Islam terhadap orang Dayak yang Islam besar sekali dalam banyak hal. Diantaranya adalah cara berpakaian, dimana kaum wanitanya menggunakan kain sarung yang panjang sampai ke tumit, sedangkan yang laki-laki menggunakan kopiah. Dalam hal makanan, mereka tidak lagi mengkonsumsi makanan yang diharamkan oleh Islam. Mereka hanya memakan daging yang telah disembelih menurut kebiasaan Islam.

Disamping itu , ada faktor internal yang selama ini diabaikan oleh bangsa Melayu akibat imperialisme/penjajahan barat namun merupakan suatu kekuatan besar dalam dunia melayu adalah bahwa bangsa Melayu adalah bangsa serumpun yang tidak terikat oleh batas-batas geografis dan kultural dalam wilayah administratif tertentu, melainkan tersebar di berbagai negara termasuk Cina dan Afrika Selatan. Disamping itu juga Melayu berhasil membangun suatu budaya yang bisa bertahan terutama di kawasan Asia Tenggara selama berabad-abad lamanya. Disamping itu terdapatnya ikatan kekeluargaan secara tradisional antara penduduk satu negara dengan penduduk negara lainnya.


B. Etnis Tionghoa

Berdasarkan artikel yang saya ambil dari http://history.melayuonline.com. Asal usul orang Tionghoa masuk ke Kalimantan Barat mempunyai sekelumit cerita yang cukup panjang. Sejak abad ketiga, pelaut Cina telah berlayar ke Indonesia untuk melakukan perdagangan. Rute pelayaran menyusuri pantai Asia Timur dan pulangnya melalui Kalimantan Barat dan Filipina dengan mempergunakan angin musim.

Pada abad ketujuh, hubungan Tiongkok dengan Kalimantan Barat sudah sering terjadi, tetapi belum menetap. Imigran dari Cina kemudian masuk ke Kerajaan Sambas dan Mempawah dan terorganisir dalam kongsi sosial politik yang berpusat di Monterado dan Bodok dalam Kerajaan Sambas dan Mandor dalam Kerajaan Mempawah.
Pasukan Khubilai Khan di bawah pimpinan Ike Meso, Shih Pi dan Khau Sing dalam perjalanannya untuk menghukum Kertanegara, singgah di kepulauan Karimata yang terletak berhadapan dengan Kerajaan Tanjungpura. Karena kekalahan pasukan ini dari angkatan perang Jawa dan takut mendapat hukuman dari Khubilai Khan, kemungkinan besar beberapa dari mereka melarikan diri dan menetap di Kalimantan Barat.


Pada tahun 1407, di Sambas didirikan Muslim/Hanafi - Chinese Community. Tahun 1463 laksamana Cheng Ho, seorang Hui dari Yunan, atas perintah Kaisar Cheng Tsu alias Jung Lo (kaisar keempat dinasti Ming) selama tujuh kali memimpin ekspedisi pelayaran ke Nan Yang. Beberapa anak buahnya ada yang kemudian menetap di Kalimantan Barat dan membaur dengan penduduk setempat.

Mereka juga membawa ajaran Islam yang mereka anut sejak Abad 17.
Di abad ke-17 hijrah bangsa Cina ke Kalimantan Barat menempuh dua rute yakni melalui Indocina - Malaya - Kalimantan Barat dan Borneo Utara - Kalimantan Barat. Tahun 1745, orang Cina didatangkan besar-besaran untuk kepentingan perkongsian, karena Sultan Sambas dan Panembahan Mempawah menggunakan tenaga-tenaga orang Cina sebagai wajib rodi dipekerjakan di tambang-tambang emas. Kedatangan mereka di Monterado membentuk kongsi Taikong (Parit Besar) dan Samto Kiaw (Tiga Jembatan).
Tahun 1770, orang-orang Cina perkongsian yang berpusat di Monterado dan Bodok berperang dengan suku Dayak yang menewaskan kepala suku Dayak di kedua daerah itu. Sultan Sambas kemudian menetapkan orang-orang Cina di kedua daerah tersebut hanya tunduk kepada Sultan dan wajib membayar upeti setiap bulan, bukan setiap tahun seperti sebelumnya. Tetapi mereka diberi kekuasaan mengatur pemerintahan, pengadilan, keamanan dan sebagainya. Semenjak itu timbullah Republik Kecil yang berpusat di Monterado dan orang Dayak pindah ke daerah yang aman dari orang Cina.
Pada Oktober 1771 kota Pontianak berdiri. Tahun 1772 datang seorang bernama Lo Fong (Pak) dari kampung Shak Shan Po, Kunyichu, Kanton membawa 100 keluarganya mendarat di Siantan, Pontianak Utara. Sebelumnya di Pontianak sudah ada kongsi Tszu Sjin dari suku Tio Ciu yang memandang Lo Fong sebagai orang penting. Mandor dan sekitarnya juga telah didiami suku Tio Ciu, terutama dari Tioyo dan Kityo. Daerah Mimbong didiami pekerja dari Kun-tsu dan Tai-pu. Seorang bernama Liu Kon Siong yang tinggal dengan lebih dari lima ratus keluarganya mengangkat dirinya sebagai Tai-Ko di sana. Di San Sim (Tengah-tengah Pegunungan) berdiam pekerja dari daerah Thai-Phu dan berada di bawah kekuasaan Tong-A-Tsoi-sebagai-Tai-Ko.

Lo Fong kemudian pindah ke Mandor dan membangun rumah untuk rakyat, majelis umum (Thong) serta pasar. Namun ia merasa tersaingi oleh Mao Yien yang memiliki pasar 220 pintu, terdiri dari 200 pintu pasar lama yang didiami masyarakat Tio Tjiu, Kti-Yo, Hai Fung dan Liuk Fung dengan Tai-Ko Ung Kui Peh dan 20 pintu pasar baru yang didiami masyarakat asal Kia Yin Tju dengan Tai-Ko Kong Mew Pak. Mao Yien juga mendirikan benteng Lan Fo (Anggrek Persatuan) dan mengangkat 4 pembantu-dengan-nama-Lo-Man.

Lalu Lo Fong mengutus Liu Thoi Ni untuk membawa surat rahasia kepada Ung Kui Peh dan Kong Mew Pak, sehingga mereka terpaksa menyerah dan menggabungkan diri di bawah kekuasaan Lo Fong tanpa pertumpahan darah. Lo Fong kemudian juga merebut kekuasaan Tai-Ko Liu Kon Siong di daerah Min Bong (Benuang) sampai ke San King (Air-Mati). Lo Fong kemudian menguasai pertambangan emas Liu Kon Siong dan pertambangan perak Pangeran Sita dari Ngabang. Kekuasaan Lo Fong meliputi kerajaan Mempawah, Pontianak dan Landak dan-disatukan pada tahun 1777 dengan nama Republik-Lan-Fong.

Tahun 1795 Lo Fong meninggal dunia dan dimakamkan di Sak Dja Mandor. Republik yang setiap tahun mengirim upeti kepada Kaisar Tiongkok ini pun bubar. Oleh orang Cina Mandor disebut Toeng Ban Lit (daerah timur dengan 1000 undang-undang . Tahun 1795, berkobar pertempuran antara kongsi Tai-Kong yang berpusat di Monterado dengan kongsi Sam Tiu Kiu yang berpusat di Sambas karena pihak Sam Tiu Kiu melakukan penggalian emas di Sungai Raya Singkawang, daerah kekuasaan Tai-Kong. Tahun 1796, dengan bantuan kerajaan Sambas, kongsi Sam Tiu Kiu berhasil menguasai Monterado. Namun seorang panglima sultan bernama Tengku Sambo mati terbunuh ketika menyerbu benteng terakhir kongsi Tai Kong. Perang ini oleh rakyat Sambas disebut juga dengan nama Perang Tengku Sambo.

Pada 6 September 1818 Belanda masuk ke Kerajaan Sambas. Tanggal 23 September Muller dilantik sebagai Pejabat Residen Sambas dan esoknya mengumumkan Monterado di bawah kekuasaan pemerintahan Belanda. Pada 28 November diadakan pula pertemuan dengan kepala-kepala kongsi dan orang-orang Cina-di-Sambas. Tahun 1819, masyarakat Cina di Sambas dan Mandor memberontak dan tidak mengakui pemerintahan Belanda. Seribu orang dari Mandor menyerang kongsi-Belanda-di-Pontianak.

Pada 22 September 1822 diumumkan hasil perundingan segitiga antara Sultan Pontianak, pemerintahan Belanda dan kepala-kepala kongsi Cina.
Namun pada 1823, setelah berhasil menguasai daerah Lara, Sin Ta Kiu (Sam Tiu Kiu), Sambas, kongsi Tai Kong mengadakan pemberontakan terhadap belanda karena merasa hasil perundingan merugikan pihaknya. Dengan bantuan Sam Tiu Kiu dan orang-orang Cina di Sambas, kongsi Tai Kong kemudian dipukul mundur ke Monterado.

Setelah gagal pada serangan kedua tanggal 28 Februari 1823, pada 5 Maret penduduk Cina yang memberontak menyatakan menyerah dan kemudian 11 Mei komisaris Belanda mengeluarkan peraturan-peraturan dan kewajiban-kewajiban kongsi-kongsi. Tahun 1850, kerajaan Sambas yang dipimpin Sultan Abubakar Tadjudin II hampir jatuh ke tangan perkongsian gabungan Tai Kong, Sam Tiu Kiu dan Mang Kit Tiu. Kerajaan Sambas meminta bantuan kepada Belanda. Tahun 1851, kompeni Belanda tiba dipimpin Overste Zorg yang kemudian gugur ketika perebutan benteng pusat pertahanan Sam Tiu Kiu di Seminis Pemangkat. Ia dimakamkan di bukit Penibungan, Pemangkat. Setelah abad 18 Tahun 1854 pemberontakan kian meluas dan didukung bangsa Cina yang di luar perkongsian. Belanda kemudian mengirimkan pasukan tambahan ke Sambas yang dipimpin Residen Anderson. Akhirnya pada 1856 Republik Monterado yang telah berdiri selama 100 tahun berhasil dikalahkan. Tanggal 4 Januari 1857 Belanda mengambil alih kekuasaan Cina di kerajaan Mempawah, dan tahun 1884 seluruh perkongsian Cina di Kalimantan Barat dibubarkan oleh Belanda. Tahun 1914, bertepatan dengan Perang Dunia I, terjadi pemberontakan Sam Tiam (tiga mata, tiga kode, tiga cara). Pemberontakan di Monterado dipimpin oleh bekas keluarga Republik Monterado, sedangkan pemberontakan di Mempawah dipimpin oleh bekas keluarga Republik Lan Fong. Mereka juga dibantu oleh masyarakat Melayu dan Dayak yang dipaksa untuk ikut. Pemberontakan berakhir tahun 1916 dengan kemenangan di pihak Belanda. Belanda kemudian mendirikan tugu peringatan di Mandor bagi prajurit-prajuritnya yang gugur selama dua kali pemberontakan Cina (tahun 1854-1856 dan 1914-1916). Perang 1914-1916 dinamakan Perang Kenceng oleh masyarakat Kalimantan Barat. Tahun 1921-1929 karena di Tiongkok (Cina) terjadi perang saudara, imigrasi besar-besaran orang Cina kembali terjadi dengan daerah tujuan Semenanjung Malaya, Serawak-dan-Kalimantan-Barat.


C. Dayak Kanayatn

Orang dayak merupakan suku asli yang memang telah ber abad-abad berada di Pulau Kalimantan. Menurut hasil pengamatan saya, ternyata orang Dayak memiliki beragam suku, bahasa, dan logat. Bahkan jumlahnya mencapai 200 lebih, dan tersebar di Pulau Kalimantan. Pada Kalimantan Barat saja, hingga akhir tahun 1992 berdasarkan dari data Pemda Kal-Bar, jumlah penduduk ber-etnis Dayak diperkirakan mencapai 41 % dari total keseluruhan penduduk yang ada di Kalimantan Barat yang disinyalir berjumlah 3.490.800 jiwa.

Berikut akan lebih dikhususkan kepada suku Dayak Kanayatn. Penjabaran lebih lanjut bisa kita saksikan dari hasil penelitian DR. Yusriadi dan Haitami Salim dalam sitenya www.yusriadi.blogspot.com menuturkan bahwa simbol budaya Kanayatn tetap dipergunakan oleh kedua komunitas Islam dan bukan Islam di sini. Ini yang menyebabkan apa yang terjadi di Gunung berbeda dibandingkan dengan apa yang terjadi di daerah lain. Umumnya, seperti banyak dilaporkan, identitas orang yang beragama Islam dengan yang bukan beragama Islam berbeda. Paling tidak dari segi budaya, orang Islam meninggalkan sejumlah tradisi lama yang dari segi agama dianggap sebagai-syirik .


B. Kekuatan dan Kelemahan Etnis Melayu, Tionghoa dan Dayak Kanayatn


1. Etnis Melayu

Benarkah fakta yang menyatakan orang Melayu itu identik dengan kemiskinan?. Ternyata fakta tersebut tidak keliru. Terbukti dengan hasil penelitian seorang dosen STAIN Pontianak, yakni Ust. Ismail Ruslan M.Si, menuturkan bahwa angka kemiskinan dalam kelompok 10-20 persen dan 20-30 persen penduduk dari 24 Propinsi. Kalimantan Barat serta Propinsi lain yang juga terdapat orang Melayu, masuk ke dalam kategori tersebut, memiliki prosentase penduduk miskin yang terbilang cukup besar.

Orang Melayu secara perekonomian memang sangat lemah dan terbawah, bahkan di daerah asalnya sendiri, mereka tidak mampu bersaing dengan para pendatang dari luar. Seperti, Orang Cina yang notabene mendominasi perekonomian di Kal-Bar, khususnya Pontianak. Belum lagi suku yang datang dari Pulau Sumatera, umpamanya dari Padang. Pada umumnya mereka (suku Minang) bermigrasi ke Kota Pontianak adalah untuk berdagang, seperti membuka toko pakaian, dekorasi pelaminan dan perlengkapan pernikahan, dan yang tidak asing lagi, bertebarannya rumah makan hingga ke sudut-sudut kota, bahkan menyebar di seluruh wilayah Kal-Bar.

Sebagian besar orang Melayu, memang lebih cenderung menjadi pekerja, serta minim upaya untuk menciptakan lapangan pekerjaan. Mereka hanya berorientasi kepada sektor-sektor informal dan pekerjaan swasta lainnya. Profesi lain yang diminati oleh masyarakat Melayu adalah PNS (Pegawai Negeri Sipil,), ABRI, dan Politik .

Bagi orang Melayu yang terpinggirkan, memang sangat sulit untuk berkembang. Dan yang memprihatinkan, mayoritas dari orang Melayu ini beragama Islam. Padahal ajaran Islam telah banyak memotivasi agar kaum Muslim bekerja dan berusaha di dunia, serta mulia di akhirat kelak (fi dunya hasanah wa fil akhirati hasanah). Saya pernah mendengar suatu hadist yang lebih kurang maknanya seperti ini: ”Bekerjalah untuk duniamu seakan engkau akan hidup seribu tahun lagi, dan bekerjalah untuk akhiratmu seakan engkau akan mati esok hari”. Masih banyak lagi dalil qur’an maupun hadits yang menuturkan hal serupa.

Namun tidak menutup kemungkinan jika mayoritas orang Melayu mampu bangkit dari pelbagai keterpurukan ini. Terbukti bahwa hegemoni kebudayaan Melayu masih bisa hingga sekarang, yang secara tidak langsung menyatakan bahwa kekuatan terselubung ekonomi budaya Melayu akan tetap ada.

Hal ini sejalan dengan penuturan dari sebuah artikel yang ditulis oleh Larasati . Ia menyebutkan : berdasarkan karakteristik kekuatan dan kelemahan budaya melayu baik secara internal maupun eksternal seperti pada uraian diatas, tidak ada salahnya jika mulai sekarang kita memikirkan bagaimana aspek budaya dan tatanan nilai bangsa Melayu dapat ditransformasikan kedalam sistem ekonomi dan manajemen bagi negara-negara yang berbangsa melayu sebagai etos kerja dan falsafah hidup rakyatnya. Namun sebagaimana Jepang yang berhasil memasukkan unsur budaya kedalam sistem manajemen dan etos kerjanya yang dimotori oleh pemimpinnya dan kemudian diikuti oleh rakyatnya, menjadi persoalan mendasar bagi penerapan budaya melayu kedalam sistem manajemen, karena semua bisa berhasil apabila kalau pemimpin-pemimpin negara bangsa melayu mempunyai keinginan dan mempunyai tekad yang kuat. Masalahnya sekarang adalah belum adanya tindakan konkrit antara pemimpin-pemimpin formal negara-negara Melayu untuk menerapkan atau minimal merencanakan sistem manajemen melayu bagi kawasan ini, padahal saatnya sudah tepat untuk mengganti sistem manajemen yang berasal dari barat karena ternyata lebih banyak gagalnya ketimbang suksesnya. Jangan-jangan peribahasa “semut diseberang lautan dapat dilihat, tapi gajah didepan hidung tak tampak” mungkin lagi menghinggapi para pemimpin di negara kawasan melayu ini.

2. Etnis Tionghoa

Memang jika dilihat, etnis Tionghoa memiliki kemapanan hidup yang berada satu level di atas orang Melayu. Kebanyakan dari mereka memiliki mata pencaharian dengan berdagang atau pelayanan jasa, seperti : membuka toko sembako di pasar, bengkel, supermarket, dan lain sebagainya. Biasanya juga mereka mempekerjakan orang Melayu.

Mengenai tempat tinggal, tidak jarang mereka membangun ruko atau rukan (rumah kantor). Dari sini telah tampak, bahwasanya cara berpikir mereka sangat produktif dan cerdas. Sebagaimana yang dikatakan oleh Yohanes Supriadi , Fenomena ini yang patut kita pelajari, mengapa orang Cina lebih senang tinggal di Ruko/Rukan?

Dari sini lagi-lagi kita harus mengacungi jempol dengan budaya dagang/bisnis orang Cina terutama dengan kecerdasan finansial mereka. Kita tahu selama ini orang Cina, selalu hidup hemat, disiplin dengan keuangan, dan rajin menabung. Ketika mereka membeli sesuatu yang mengakibatkan uang yang keluar dari kocek, pasti sudah dipertimbangkan masak-masak dampaknya di kemudian hari terhadap keuangan mereka secara keseluruhan.

Termasuk juga dalam hal memilih tempat tinggal atau rumah. Perhatikan saja seberapa banyak Anda melihat sebuah keluarga Cina yang tinggal di rumah kontrakan? Sepertinya sudah menjadi budaya mereka bahwa bila mereka masih dalam merintis bisnis, apa pun akan mereka lakukan agar bisa membeli sebuah Ruko, agar apa? Agar mereka bisa berdagang/bisnis, bisa menjadi tempat tinggal, sekaligus menjadi salah satu investasi properti mereka! Di sinilah kecerdasan mereka!

Selanjutnya bila uang mereka sudah cukup baru lah mereka membeli rumah pribadi. Akibatnya apa? Sungguh mengagumkan, setelah bertahun-tahun berdagang/bisnis dan hidup di Ruko/Rukan, mereka berhasil membuat rumah, lihatlah berarti kekayaan properti mereka bertambah dong selain Ruko/Rukan tersebut lalu rumah yang telah mereka miliki. Pernahkan kita membayangkan itu?


Dari pernyataan Yohanes supriadi di atas, dapat kita ambil sebuah initisari mengenai metode bagaimana kegigihan orang Cina yang menurutnya sangat proporsional dalam mengatur keuangan. Serta cara hidup mereka yang hemat dan penuh perhitungan.

Dalam hal ini, sebutan istilah orang Cina masih menjadi kebiasaan orang pada umumnya. Akan tetapi, tidak semua dari mereka setuju terhadap panggilan tersebut. Mereka menilai, jika mereka disebut sebagai orang Cina, maka secara otomatis mereka bukan WNI. Padahal lanjut mereka, ”kami tidak langsung datang dari Cina, namun kami sudah sejak berabad lalu telah berada di Indonesia, khususnya di Kalbar. Jadi kami adalah generasi penerus dari para leluhur terdahulu. Bahkan mereka mengatakan, sebutan Tionghoa sebenarnya lebih tepat digunakan mengingat tradisi mereka yang telah bercampur baur dengan masyarakat pribumi. Pernyataan ini saya nukil berdasarkan penelitian Dosen STAIN Pontianak .

Saya cukup mengenal baik, sebuah keluarga etnis Tionghoa yang beragama Islam. Sejak mereka masuk Islam, nama mereka pun turut diganti. Seperti Sang ayah, yang semula bernama A Khun, kini diganti menjadi Junaidi. Beliau memiliki seorang istri dan tiga orang anak. Mereka tinggal dalam sebuah rumah yang terletak di tepi jalan. Di rumah itu mulanya mereka membuka warung kecil kecilan dan menjual barang seadanya atau sebagaimana orang bilang ”sekenanya saja”. Dari tahun ke tahun, saya perhatikan ada perkembangan yang signifikan. Kemudian, usahanya berkembang. Perlahan ia menambah isi tokonya itu dengan menjual air galon dan gas melalui jasa antar jemput yang dihandle oleh anaknya. Saya semakin terkejut, ketika mereka mengembangkan usaha yang sebelumnya tidak pernah terduga. Kalau tidak salah pertengahan tahun 2007 mereka mulai membangun usaha bengkel sederhana di depan rumah mereka, berdampingan dengan warung yang telah lama mereka tekuni. Hingga tahun 2009 ini, perabotan bengkel tersebut kian bertambah. Sungguh mengagumkan! Bisakah kita berbuat demikian?

Di Kalimantan Barat, khususnya Pontianak dan Singkawang yang Mayoritas tinggal di kawasan perdagangan. Etnis Tionghoa memiliki peran yang sangat urgen dalam tataran pergerakan roda perekonomian kota setempat. Tak pelak, secara negara Indonesia juga merasa terbantu dengan hadirnya Tionghoa di Tanah Air. Sebab, sedikit banyak pengaruh dari mereka adalah mampu hidup mandiri dan tidak membebani Negara.

Akan tetapi, sangat disayangkan bahwa kekuatan dan kecerdasan ekonomi ini sebagian besar tidak ditopang dengan pengetahuan yang bersifat kerohanian. Orang Tionghoa hanya melihat sesuatu dari materi dan manfaat, bukan dari hakikat dari semua itu. Anatra materi dan spiritual, keduanya tidak akan pernah seimbang. Apabila ingin meraih banyak uang dan segala fasilitas dunia yang menggiurkan, maka keyakinan menjadi sedikit terlupa. Dan begitu juga sebaliknya.

Terkadang karena asyiknya berbisnis, mereka menjadi jarang bersilaturahmi, utamanya pada keluarga terdekat mereka. Paling setiap perayaan saja mereka menyempatkan diri untuk berkunjung ke tempat sanak saudara.


C. Etnis Dayak kanayatn

Tidak bisa dipungkiri, bahwa begitu beragamnya etnis, maka cara pandang serta metode untuk memperjuangkan hidup beragam pula. Pada bahasan berikut ini, akan ditelaah secara ringkas mengenai kekuatan dan kelemahan sosio-ekonomi orang Dayak Kanayatn.

Etnis Dayak Kanayatn, sebagian besar bermukim di daerah pedalaman. Mata pencaharian mereka sama dengan Etnis Dayak lainnya. Adapun mata pencaharian tersebut yakni bertani, menoreh karet, ladang berpindah-pindah, berkebun, berternak, ada juga yang berdagang mengusahakan kayu atau pertambangn emas rakyat .

Potensi ekonomi mereka terletak dari pemanfaatan SDA, mereka secara tradisi memang sudah terbiasa hidup dengan memanfaatkan potensi alam yang ada. Meskipun media yang mereka gunakan bisa dikatakan sangat sederhana.

Menurut Munawar M Saad, salah satu mata pencaharian yang menaarik dari masyarakat Dayak adalah bertani. Menanam padi di ladang dan sawah merupakan kegiatan utama yang dilakukan. Ave dan King (1986:27) mengatakan bahwa kehidupan tradisional pokok masyarakat Dayak yang khas adalah pertanian padi. Ladang dan sawah, atau keduanya dilakukan secara serempak di seluruh wilayah di Kalimantan Barat. Sistem pertanian yang digunakan masih bersifat subtitensi, yaitu sekedar untuk memenuhi kebutuhan hidupnya sehari-hari .

Lanjut Munawar, adapun struktur sosial masyarakat Dayak didasarkan atas tempat tinggal di rumah panjang yang kemudian menciptakan aturan atau adat bagi kehidupan secara komunal. Struktur sosial bisa menciptakan kehidupan masyarakat dalam hal melaksanakan atau mematuhi aturan kebersamaan.

Khusus bagi Dayak Kanayatn yang mayoritas beragama Islam, aturan atau adat yang dinilai bertentangan dengan ajaran Islam tidak mereka gunakan.

Dari gambaran positif yang menunjukkan kekuatan ekonomi orang Dayak di atas, dapat pula kita temukan kelemahan yang ada pada etnis tersebut. Menurut hemat saya, sebagian masyarakat Dayak cukup tertinggal dalam hal mobilitas potensi kerja, dengan maksud tidak adanya keinginan untuk bertempur di luar daerahnya dan merasakan perhelatan atmosfer kehidupan yang penuh tantangan. Sebagai misal dengan merantau ke Pontianak atau ke wilayah manapun.


C. Analisis Mengenai Ketiga Etnis di Atas

Dari ketiga etnis di atas, yakni Melayu, Tionghoa, dan Dayak Kanayatn bisa kita katakan di dalam setiap manusia memiliki kemampuan yang berbeda-beda. Pada masing-masing memiliki keutamaan dan kekurangannya. Ini menunjukkan bahwa manusia adalah mahluk Allah yang lemah dan serba terbatas, sempurna takkan datang walau seribu purnama. Bukannya Allah pernah menjelaskan kepada kita agar saling kenal-mengenal. Yang dimaksud kenal mengenal tidak hanya dalam konteks sekedar mengetahui saja, akan tetapi ada kedekatan emosi sosial antara beragam etnis yang ada serta saling mengisi satu sama lain. Namun yang terpenting menurut saya, memang ada suatu bentuk ”paket” kehidupan yang diberikan Allah kepada manusia dan bersifat mutlak. Setiap etnis memiliki jalan tersendiri, terkecuali mereka yang sudah memeluk agama Islam, maka praktis mereka juga harus berada di dalam peraturan Islam. Dalam arti segala seuatu yang dilakukan umat Muslim, mutlak harus terikat kepada hukum-hukum Islam. Allah SWT berfirman : Dan kami menurunkan kepada kamu (Muhammad) Al Kitab (yakni Al-qur’an), adalah untuk menjawab segala sesuatu.

Dewasa ini dimana-mana kita temukan khususnya pada etnis Melayu, yang cendrung tidak berkembang, terutama dari segi perekonomiannya. Walaupun cara mereka mendapatkan penghasilan bisa dikatakan relatif mudah, namun pendistribusiannya sering menjadi kendala. Ust Ismail Ruslan pernah berkata, ”kantong-kantong umat Muslim yang umumnya adalah orang melayu, sangat sulit terdata status perekonomian mereka, dan bingung untuk membedakan mana keluarga yang mampu/tidak”.

Hal ini menurut saya disebabkan peran Negara yang kurang optimal dalam mengelola masyarakatnya. Dan tentu persoalan ini terkait dengan sistem yang ada. Mengingat potensi berpikir yang dianut oleh etnis Melayu yang masih tradisionalis, sebenarnya juga bukan masalah suku atau ras tertentu, melainkan sistem perekonomian yang selayaknya tidak mungkin di terapkan oleh penganut agama Islam. Lagi-lagi peran Negara dipertanyakan.

Wujud kesadaran kita akan bangkitnya sistem Islam rahmatan lil ’alamin terbilang masih minim. Inilah yang terjadi pada etnis melayu sekarang, pemahaman keislaman yang mereka peroleh selama ini hanya seputar shalat, zakat, puasa, haji dan hanya berputar-putar pada poros itu saja. Sedangkan masalah ekonomi, maupun sosial yang Islami tidak pernah ditanamkan pada mereka. Kendala ini tentu harus diubah dengan para pendakwah Islam generasi muda yang kompeten dan berwawasan luas, yang mampu menebarkan Islam rahmatan lil ’alamin ke tengah-tengah umat.

Orang Indonesia yang mayoritas Muslim, menurut M. Rahmat Kurnia bahwa semua kita sadar, Indonesia masih dalam krisis multidimensional. Tentu, semua ini merupakan produk dari sistem hidup dan kehidupan yang selama ini diterapkan. Yaitu, sistem kapitalisme dalam segala bidang. Karenanya, untuk keluar dari krisis ini tidak dapat bila hanya ganti orang dengan membiarkan sistem yang selama ini berlaku. Persoalannya adalah sistem mana yang akan dipilih. Memilih sistem kapitalisme sama saja dengan mempertahankan kerusakan dan krisis.

Dari penuturan M.Rahmat Kurnia di atas, saya meyakini akan adanya keterkaitan antara ras (hanya sebagian kecil), agama, dan Negara. Selamanya masyarakat Melayu tidak akan pernah bisa hidup dalam tataran perekonomian yang ada saat ini, yang masih didominasi sistem Kapitalis. Mangapa demikian, karena sistem tersebut tidak sesuai dengan tuntunan agama yang mayoritas mereka anut, yakni Islam. Walaupun mereka bisa bangkit, akan tetapi tidak akan bisa lama dan tatkala bangkrut maka seketika itu juga mereka akan colaps.

Lain halnya dengan etnis Tionghoa yang non Muslim. Mereka seyogianya akan tetap berjaya dengan menerapkan ekonomi Kapitalis untuk menopang kehidupan mereka. Karena seperti yang saya paparkan tadi bahwa terapan ekonomi di luar Islam adalah memang merupakan sebuah ”paket” jalan hidup untuk mereka.

Berbicara mengenai retreatisme atau berpaling ke akhirat, menurut saya itu sah-sah saja dan tidak akan mengusik keegiatan sosio ekonomi orang Melayu. Bahkan hal ini akan lebih baik tatkala paham retreatisme dijadikan dasar untuk bangkit menuju perubahan yang membanggakan. Jangan terlalu terpengaruh dengan pandangan hidup yang semata-mata hanya memandang sesuatu berwujud materi, dan manfaat, melainkan ada pertanggung jawaban yang lebih besar di akhirat kelak. Boleh saja kita berpandangan untuk mendapatkan keuntungan yang banyak dan berlimpah, akan tetapi cara mendapatkannya itu yang menjadi persoalan. Jika etnis Melayu, Tionghoa, dan Dayak Muslim memperoleh atau membuat suatu usaha dagang dengan sistem riba’, maka akan sangat berdampak merugikan diri sendiri dan orang lain. Bagi orang Tionghoa, asas manfaat dan materi adalah segala-galanya di dunia. Mereka mempunyai jalan tersendiri, sedangkan bagi mereka yang Muslim baik itu Melayu, Tionghoa, maupun Dayak yang ingin memperbaiki perekonomian mereka, tidak lain adalah dengan adanya sebuah ”paket”, yakni sistem ekonomi berdasarkan asas-asas Islam. Dan pasti sebuah kemajuan ini haruslah berawal dari adanya kebijakan Negara yang mengatur hal demikian, sehingga kehidupan sosial masyarakat menjadi berkah dan melimpah.

Logika sederhana saya mengenai etnis Dayak, tidak begitu terpengaruh dengan sistem dengan alasan mereka yang hidupnya di pedalaman secara instan menuai hasil alam yang terdapat di daerah masing-masing, dan sedikit sekali alat tukar (uang) yang terjadi di sana.

No comments

silahkan bergabung di sini..berbagi ilmu secara sopan dan penuh keakraban..